Pada
tahun 1970, Paul McClean dalam konsep Triune Theory memaparkan hipotesisnya
bahwa otak manusia terdiri dari tiga bagian penting, yaitu:
- Otak besar (neokorteks), memiliki fungsi utama untuk berbahasa, berpikir, belajar, memecahkan masalah, merencanakan, dan mencipta.
- Otak tengah (sistem limbik), berfungsi untuk interaksi sosial, emosional, dan ingatan jangka panjang.
- Otak kecil (otak reptil), berfungsi untuk bereaksi, naluriah, mengulang, mempertahankan diri, dan ritualitas.
Dari
teori tersebut dikembangkanlah suatu model pembelajaran yang disebut
Brain-based Learning. Brain-based learning adalah sebuah cara yang
mengoptimalkan fungsi otak sebagai komponen utama dalam proses pembelajaran.
Hal ini memungkinkan suatu sistem kerja biologis dalam tubuh bekerja
mempengaruhi struktur dan fungsi otak sesungguhnya untuk belajar secara
alamiah. Pada dasarnya, brain-based learning memfungsikan pengalaman
sesungguhnya dalam proses pembelajaran. Caine (Tang, 2009) mengungkapkan adanya
keterlibatan lima komponen dalam system pembelajaran alamiah otak, yaitu:
- The curious brain
Ia
membangkitkan ketertarikan kepada hal-hal baru. Ini adalah komponen otak yang
cenderung menjadi lebih aktif saat kita dihadapkan pada ide-ide dan tantangan
baru.
- The meaningful brain
Makna
lebih penting bagi tak dari pada informasi. Otak mencari makna melalui
peniruan. Peniruan membuat otak mampu menyimpan pengetahuan ke dalam memori.
- The emotional brain
Emosi dan
kecerdasan berasal dari bagian yang berbeda di otak, namun keduanya bekerja
secara integral dan tak terpisahkan serta bisa ditingkatkan menggunakan
stimulus dan tantangan.
- The social brain
Otak kita
bersifat sosial. Interaksi dan keadaan sosial mempengaruhi tingkat stress.
Proses belajar akan lebih efektif jika dilakukan dalam situasi yang
menyenangkan pembelajar dimana proses membangun struktur pemahaman,
pembelajaran yang kooperatif, dan interaksi sosial memungkinkan terjadi di
dalamnya.
- The conscious and subconscious brain
Belajar
melibatkan proses sadar dan bawah sadar. Belajar bukan hanya terjadi di dalam
kelas, namun juga dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam menerapkan pendekatan Brain Based Learning (BBL), ada beberapa hal yang harus diperhatikan karena akan sangat berpengaruh pada proses pembelajaran, yaitu lingkungan, gerakan dan olahraga, musik, permainan, peta pikiran (mind map), dan penampilan guru. Berdasarkan hal tersebut, strategi pembelajaran utama yang dapat dikembangkan dalam implementasi Brain Based Learning (Sapa’at, 2009) diantaranya adalah sebagai berikut.
Pertama, menciptakan lingkungan belajar yang menantang kemampuan berpikir siswa. Dalam setiap kegiatan pembelajaran, sering-seringlah guru memberikan soal-soal materi pelajaran yang memfasilitasi kemampuan berpikir siswa dari mulai tahap pengetahuan (knowledge) sampai tahap evaluasi menurut tahapan berpikir berdasarkan Taxonomy Bloom. Soal-soal pelajaran dikemas seatraktif dan semenarik mungkin misalnya melalui teka-teki, simulasi games, tujuannya agar siswa dapat terbiasa untuk mengembangkan kemampuan berpikir dalam konteks pemberdayaan potensi otak siswa.
Kedua, menciptakan lingkungan pembelajaran yang menyenangkan. Hindarilah situasi pembelajaran yang membuat siswa merasa tidak nyaman dan tidak senang terlibat di dalamnya. Lakukan pembelajaran di luar kelas pada saat-saat tertentu, iringi kegiatan pembelajaran dengan musik yang didesain secara tepat sesuai kebutuhan di kelas, lakukan kegiatan pembelajaran dengan diskusi kelompok yang diselingi dengan permainan-permainan menarik, dan upaya-upaya lainnya yang mengeliminasi rasa tidak nyaman pada diri siswa. Howard Gardner dalam buku Quantum Learning karya De Porter, Bobbi, & Mike Hernacki menyatakan bahwa seseorang akan belajar dengan segenap kemampuan apabila dia menyukai apa yang dia pelajari dan dia akan merasa senang terlibat di dalamnya.
Ketiga, menciptakan situasi pembelajaran yang aktif dan bermakna bagi siswa (active learning). Siswa sebagai pembelajar dirangsang melalui kegiatan pembelajaran untuk dapat membangun pengetahuan mereka melalui proses belajar aktif yang mereka lakukan sendiri. Bangun situasi pembelajaran yang memungkinkan seluruh anggota badan siswa beraktivitas secara optimal, misal mata siswa digunakan untuk membaca dan mengamati, tangan siswa bergerak untuk menulis, kaki siswa bergerak untuk mengikuti permainan dalam pembelajaran, mulut siswa aktif bertanya dan berdiskusi, dan aktivitas produktif anggota badan lainnya. Merujuk pada konsep konstruktivisme pendidikan, keberhasilan belajar siswa ditentukan oleh seberapa mampu mereka membangun pengetahuan dan pemahaman tentang suatu materi pelajaran berdasarkan pengalaman belajar yang mereka alami sendiri.
Ketiga strategi utama dalam penerapan Brain Based Learning tersebut hendaknya bisa diselaraskan dengan semua tahapan dalam pembelajaran Brain Based Learning. Penerapan Brain Based Learning menjadikan guru menggunakan strategi pembelajaran yang berdasar kepada pengoptimalan potensi otak. Hal yang bisa dilakukan seorang guru ketika proses belajar mengajar dengan menggunakan tahap-tahap Brain Based Learning (BBL) adalah:
1. Pra-Pemaparan
Memberikan pengantar atau ulasan tantang topik baru yang akan disampaikan, bisa dengan memajangnya pada papan pengumuman atau disampaikan secara lisan. Hal ini sebagai bertujuan untuk membuat koneksi pada otak tentang informasi baru yang akan didapat siswa.
2. Persiapan
Menghadirkan siswa dalam lingkungan pembelajaran yang menyenangkan. Guru tidak hanya memanfaatkan ruangan kelas untuk belajar siswa, tetapi juga tempat-tempat lainnya, seperti di taman, di lapangan bahkan diluar kampus. Guru harus menghindarkan situasi pembelajaran yang dapatmembuat siswa merasa tidak nyaman, mudah bosan atau tidak senangterlibat di dalamnya dan dapat menciptakan suasana yang menggairahkansiswa dalam belajar.
3. Akuisisi
Hal-hal yang bisa dilakukan dalam tahap akuisisi diantaranya adalah sebagai berikut.
a) Menyajikan pembelajaran yang menarik dan berkesan bagi
siswa denganmenggunakan visualisasi dan warna. Contohnya: Jika ingin siswamemahami tentang bangun ruang, maka ajaklah siswa mengamati berbagai model bangun ruang atau benda-benda di lingkungan sekitar yang berbentuk bangun ruang. Setelah kegiatan tersebut, siswa kemudian diminta untuk menggambar bangun ruang tersebut semenarik mungkin dengan ditambah berbagai warna sesuai dengan kreativitas siswa. Rangsanglah siswa untuk berkreatifitas membuat gambar bangun ruang tanpa harus terpaku dengan contoh yang diberikan oleh guru. Dengan demikian jika siswa sudah membayangkansebuah bangun ruang dan dapat menggambarkan kembali, maka konsep mengenai bangun ruang sudah tertanam pada otak kanan siswa. Dan jika suatu saat ditanyakan serta diminta untuk menggambar bangun ruang lagi siswa masih bisa melakukannya. Inilah yangdisebut sebuah “memori jangka panjang”. Otak akan mengingat informasi enam kali lebih efektif jika secara jika secara memdukan keaktifan antara otak kiri dan otak kanan.
b) Menghadirkan gambar-gambar hidup yang konkret dalam
pembelajaran. Hal ini senada dengan pendapat Fiske dan Taylor (Jensen,2008:91) bahwa media yang paling baik untuk memasukkan informasi adalahdengan gambar hidup yang konkret. Contohnya: untuk membelajarkan siswa mengenai konsep kecepatan, siswa bisa diajak untuk menonton video tentang berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kecepatan. Dengan begitu, materi yang disampaikan menjadi lebih konkret dan mudah dipahami siswa. Yang tidak kalah penting, suatu objek gambar hidup dapat merangsang aktifnya otak kiri dan otak kanan.
4. Elaborasi
Hal-hal yang bisa dilakukan dalam tahap elaborasi diantaranya adalah sebagai berikut.
a) Ajarkan siswa mencatat secara kreatif dengan peta
pikiran(mind maping). Peta pikiran adalah suatu cara mencatat kreatif yang dapatmelatih otak kanan. Catatan yang biasa dibuat secara urut rapi, teratur dari atas ke bawah sesuai aturan yang sudah menjadi kebiasaan berpuluh-puluh tahun, ternyata hanya melatih otak kiri saja. Siswa sering tidak mampu memahami catatannya untuk jangka panjang. Tetapi jika catatan dibuat sendiri secara kreatif oleh siswa dengan cara membuat konsep utama pada tengah halaman buku, kemudian dari konsep utama tersebut dibuat cabang dan ranting yang makin ke ujung memuat konsep yang lebih detail.Sehingga siswa dapat lebih memahami isi keseluruhan materi pelajaran dan mengetahui hubungan antar konsep-konsep. Yang perlu diingat dalam merancang sebuah peta pikiran (mind maping) adalah menambahkan gambar dan warna-warna menarik pada tiap cabang atau ranting konsep.
b) Melakukan eksperimen atau bermain peran. Contohnya: untuk
melatih siswa dalam menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan pecahan, siswa bisa diajak untuk bermain peran (drama) yang memuat unsur-unsur mengenai permasalahan pecahan dalam kehidupan sehari-hari. Selain mengasah kemampuan otak kiri siswa dalam menyelesaikan permasalahan mengenai pecahan, cara seperti itu juga bisa melatih kemampuan otak kanan siswa dalam bidang seni.
5. Formasi Memori
Hal-hal yang bisa dilakukan dalam tahap formasi memori diantaranya adalah sebagai berikut.
a) Membangkitkan gelombang alpha otak siswa. Gelombang alpha ini adalah
cara untuk mengaktivasi otak tengah. Gelombang otak siswa yang cocok untuk menangkap informasi adalah bila otak siswa berada pada gelombang alpha. Pada panjang gelombang ini siswa terfokus untuk mendengarkan,memperhatikan pelajaran atau berkonsentrasi sehingga apa yang telah di pelajari pada suatu hari masih tetap ada pada hari sesudahnya. Konsentrasi ini ditandai oleh membesarnya pupil mata siswa. Untuk itu, ciptakan suasana menyenangkan bagi siswa. Jika siswa sulit berkonsentrasi maka selingi pembelajaran dengan permainan-permainan singkat yangmemotivasi siswa. Perlu juga pengaturan jadwal yang tepat seperti tidak tidak menempatkan materi yang sulit di siang hari dimana pada waktu itu gelombang otak siswa sudah berada gelombang beta. Pada saat itu,siswa sulit menerima informasi. Anjurkan pada siswa untuk memanfaatkan jam belajar antara jam tujuh sampai jam sembilan malam, dimana pada saat itu umumnya gelompang otak juga dalam posisi gelombang alpha.
b) Menggunakan musik dalam pembelajaran. Menurut Robert Monroe
(dalam Jensen, 2008: 384) musik yang menggunakan tempo frekuensi dan pola- pola ritmik spesifik bisa membantu dalam meningkatkan konsentrasi, pembelajaran, dan memori.
6. Verifikasi
Memberikan beberapa soal pemecahan masalah yang berkaitan dengan materi yang dibelajarkan kepada siswa. Hal ini untuk mengecek apakah siswa sudah paham dengan materi yang telah dipelajari atau belum. Hasil evaluasi kemudian diumumkan kepada siswa agar mereka mengetahui dirinya sudah memahami materi atau belum dan sebagai bekal untuk melakukan perbaikan. 7. Integrasi Fungsional Mengajak siswa untuk mengaplikasikan informasi yang didapatnya dalam kehidupan sehari-hari dan bisa menyampaikan informasi tersebut kepadaorang lain. Berikan kesadaran pada siswa bahwa aktivitas manusia tidak bisa terlepas dari matematika.
Berdasarkan uraian di atas, pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Brain Based Learning (BBL) dalam pembelajaran matematika diharapkan dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk mengasah kemampuan berpikir, khususnya kemampuan berpikir matematis, termasuk kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi. Oleh karena itu, pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Brain Based Learning (BBL) dalam pembelajaran matematika memberikan kesempatan pada siswa untuk mengasah kemampuan koneksi matematis. Dengan kemampuan koneksi matematis yang baik siswa dapat lebih memahami tentang konsep abstrak dalam matematika. Dengan demikian, kesulitan siswa dalam mempelajari matematika dapat dikurangi sehingga dapat dengan mudah mengaplikasikan pengetahuannya dalam kehidupan sehari-hari.
V. Teori
Belajar yang Mendukung Model Pembelajaran Brain Based Learning (BBL).
Teori atau landasan filosofis
yang mendukung model BBL, diantaranya yaitu aliran psikologi
tingkah laku (behaviorisme) dan pendekatan pembelajaran matematika berdasarkan
paham konstruktivisme.
1. Aliran
Psikologi Tingkah Laku (Behaviorisme)
Tokoh-tokoh aliran psikologi
tingkah laku diantaranya adalah David Ausubel, Edward L. Thorndike dan Jean
Piaget. Teori Ausubel (Ruseffendi, 1988: 172) terkenal dengan belajar bermakna
dan pentingnya pengulangan sebelum belajar dimulai. Teori Thorndike (Hudoyo,
1988: 12) diantaranya mengungkapkanthe law of exercise (hukum
latihan) yang dasarnya menunjukkan bahwa hubungan stimulus dan respon akan
semakin kuat manakala terus-menerus dilatih dan diulang, sebaliknya hubungan
stimulus respon akan semakin lemah manakala tidak pernah diulang. Jadi semakin sering suatu pelajaran diulang, maka akan semakin dikuasai
pelajaran itu. Sedangkan
teori Piaget (Ruseffendi, 1988: 132-133) mengungkapkan:
1. Perkembangan intelektual terjadi melalui
tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama.
2. Tahap-tahap itu didefinisikan sebagai
kluster dari operasi-operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan,
pembuatan hipotesis, penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku
intelektual.
3. Gerak melalui tahap-tahap itu dilengkakan
oleh keseimbangan yang menguraikan interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan
struktur kognitif yang timbul.
2. Aliran Konstruktivisme
Pendekatan paham
konstruktivisme mengungkapkan bahwa pemecahan masalah itu lebih mengutamakan
kepada proses daripada kepada hasilnya (output). Guru bukan hanya sebagai
pemberi jawaban akhir atas pertanyaan siswa, melainkan mengarahkan mereka